Judul : 5 Guru Kecilku
Penulis : Kiki Barkiah
Penerbit : Mastakka Publishing
Cetakan kedua : Oktober 2015
Pemesanan buku online hubungi :
Bapak Jumadi
Hp. 0852 1662 0755
Hp. 0852 1662 0755
Resensi Buku 5 Guru Kecilku
Sosok seorang
ibu muda berusia 29 tahun dengan lima orang anak, tanpa saudara dan tanpa
asisten rumah tangga, berjuang membesarkan dan mendidik sang buah hati di
negeri Paman Sam. Tak hanya sekadar mengajarkan ‘ilmu dunia’ melalui penerapan
‘homeschooling’ tetapi juga
menanamkan nilai-nilai islam di tengah ‘gempuran’ zaman di sebuah negara
liberal. Tak heran, terbitnya buku berjudul “5 Guru Kecilku” disambut dengan
antusiasme tinggi dengan langsung ludesnya cetakan pertama buku ini di hari
pertama peluncurannya.
Bagi saya, Teh Kiki, begitu beliau akrab disapa, merupakan
sosok yang istimewa. Bagaimana tidak, ia merupakan alumnus Institut Teknologi
Bandung jurusan paling ‘mentereng’ : Teknik Elektro (salah satu jurusan yang
memiliki passing grade tertinggi
se-Indonesia), aktivis dakwah dengan seabrek kegiatan. Kesemuanya ia lepaskan
demi mengemban amanah mulia menjadi seorang istri dan ibu. Belum lagi, salah
seorang anaknya bukan merupakan anak kandung (kebetulan beliau menikah dengan
seorang duda yang telah memiliki anak satu). Perjuangan beliau tentu tak mudah. Namun, justru
dari sanalah, ia menemukan hikmah demi hikmah sebagaimana ia menjuluki dirinya
“sang penjelajah hikmah”.
Buku bersampul foto Teh Kiki beserta kelima anaknya ini
merupakan kumpulan kisah pengasuhan anak yang ditulis dengan gaya bahasa mengalir.
Dibuka dengan bab berjudul “Niatmu Kekuatanmu”, Teh Kiki mengingatkan arti
penting niat, sebagaimana hadits Arbain pertama mencatatnya. Sesungguhnya setiap amal bergantung dari
niatnya dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang
diniatkannya. Mengapa memilih menikah dengan segala konsekuensinya? Mengapa
‘berani’ mengambil peran dan amanah sebagai orang tua yang tentu bukanlah
sebuah hal yang mudah?
Terdapat 35 kisah dalam buku setebal 241 halaman ini. Mulai
dari kisah Teh Kiki mendidik kelima permata hatinya untuk saling menyayangi dan
menguatkan sesama anggota keluarga, cara beliau mendidik anak melalui homeschooling, langkah yang diambil
tatkala nasihat biasa tak mampu menghentikan misbehavior anak, penanaman nilai Islam melalui kegiatan
sehari-hari, kisah dalam memberikan pendidikan seks pada anak, hingga bentuk
kerja sama suami istri dalam pengasuhan anak. Dari buku ini, saya banyak
belajar tentang penerapan teori parenting.
Bagi saya pribadi, amatlah jarang sebuah buku mampu membuat
berlinang air mata (bahasa jawanya mbrambang),
apalagi sampai menangis. Namun, saya tak sanggup menahan air mata tatkala
membaca beberapa kisah. Tentang perjuangan yang memuliakan : perjuangan seorang
istri dan ibu, Teh Kiki menulisnya dengan begitu powerful :
“Memandang kehamilan, melahirkan dan menyusui sebagai bagian dari ibadah kepada Allah akan melahirkan sikap yang berbeda dalam menjalankannya, begitu juga dengan nilainya di mata Allah. Tentu akan sangat berbeda rasanya bila dibandingkan dengan para wanita yang melihat kehamilan, melahirkan, menyusui sebagai tambahan beban apalagi hambatan mereka dalam mencapai karir. Karena kesulitan dalam menjalaninya adalah sebuah keniscayaan, maka sangat disayangkan jika kita menjalankannya tanpa memandangnya sebagai bagian dari ibadah kita kepada Allah,” (halaman 12-13)
Tentang niat menikah, Teh Kiki membagikan kisahnya berkenalan
dengan sang suami. Bertemu dengan sang suami dan orang tuanya di tempat i’tikaf
dan kemudian mereka menikah selang waktu sekitar satu bulan. Ayahanda Teh
Kiki bertanya apa niat sang anak ketika
diutarakan maksud untuk menikah dan kemudian disambut jawaban tegas, “Mau
ibadah, pah”
Tentang perjalanan Teh Kiki membesarkan sulung sang suami
yang tak lahir dari rahimnya. Keteladanan demi keteladanan sang anak yang
meluluhkan hati. Tentang Ali, sang sulung yang menjadi inspirasi dalam
keluarga.
“Di suatu siang, Ali tiba-tiba memeluk saya dari belakang.Ali : “Ummi, not every kids has a mom like you!”Saya kaget, campur salah tingkah, saya usap rambutnya, dan berkata,Ummi : “And not every mom has a child like you too!”(halaman 195)
Ah, sungguh. Buku ini amatlah indah. Saya seperti merasakan
ketulusan Teh Kiki menjadi seorang ibu penuh waktu, kekuatan niat dan azzamnya
untuk melahirkan generasi Islam unggulan, ketangguhannya menghadapi berbagai
ujian dan tantangan pengasuhan anak (beliau menyebutnya ‘iklan’ dalam kehidupan
sehari-hari), hingga kegigihannya terus belajar demi memberikan pendidikan
terbaik bagi anak-anaknya. Beliau tak sempurna, tentu, di beberapa kisah beliau
memberikan ‘tips’ bagi para ibu ‘untuk menjaga kewarasan dalam mendidik anak’.
Mulai dari memperbanyak istighfar, memberikan pemahaman kepada anak alih-alih
memarahinya, hingga pentingnya dukungan suami dalam menguatkan sang istri meski
hanya melalui percakapan telepon sejenak.